FUNGSI LAWAS PADA MASYARAKAT SUMBAWA (Oleh : Mufti Jauhari Alhusni) Kelengkapan Referensi Penyusunan Skirpisi salah satu Mahaiswi Universitas Mataram
Lawas adalah salah satu sastra lisan yang berkembang di masyarakat Sumbawa,
lawas sangat erat penyatuanya dengan kehidupan sosial masyrakat, karena lawas
berfungsi sebagai sarana penyaluran emosi dari interaksi dengan lingkunagan.
Dengan bahasa lawas orang bisa berkomunikasi dang menyampaikan maksudnya kepada
orang lain dalam berbagai lini hidup, baik itu kehidupan rumag tangga,
pergaulan muda mudi, pendidikan bahkan sosial politik. Berikut fungsi lawas
pada masyarakat Sumbawa yang merujuk pada fungsi sastra lisan secara umum.
1. PROYEKSI ANGAN-ANGAN SUATU KOLEKTEIF
Suatu kolektif pada umumnya membupnyai cita-cita tertentu. Keingingn itu
biasanya tergambar melaui karya seni (seni sastra) mereka. Keinginnan kolektif
masyrakat Sumbawa tergambar seperti pada lawas berikut :
Loba ku manra lalayang (Anadaikan aku bagai layang-layang)
Ya ku ngibar manra piyo (Kan ku terbang bagaikan burung)
Me tokal sugi ku layar (Kemana (tempat) kekayaan kan ku layar)
Lawas di atas merupakan sebuah cita-cita/motivasi untuk senantiasa berusaha
mencari sumber penghidupan walaupun itu berdada di tempat jauh.
Sia bulaeng tu tino (Engkau bagaikan logam emas pilihan)
Lamen to komong salaka (Jikalau bisa membungkus perak)
Intan sia si tu ketong (Maka engkaulah permata yang kami sandarkan)
Lawas di atas merupakan ungkapan bahwa pemipin adalah orang terpilih, jika
mampu mengayomi rakyatnya maka ialah pemimpin yang akan disegani dan dihormati
Adapun jenis-jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah lawas
pasatotang/nasihat (lawas tau loka) dan lawas muda-mudi, karena secara umum
fungsi lawas dalam konteks ini merupakan sebuah cita-cita atau harapan baik
kepada diri sendiri maupun kepada orang lain untuk memperoleh sesuatu yang
terbaik. Berikut beberapa contoh berdasarkan jenis tersebut:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Bilen pesan guru kaji (berpesan guru saya)
Na kalanye masa ode (Masa kecil jangan kau lalaikan)
Nesal mudi nonda tuju (sesal kemudian tiada guna)
Seorang anak yang mengulang kembali pesan (nasihat)nya dengan harapan agar
orang lain yang mendengar dapat mengikunya.
Lamen pendi mares pendi (Jika dikasihi terruslah kasihi)
Na musayang manra kemang (Jangan kau sayang seprti bunga)
Manra me lema na bosan (Bagakan nasi, agar tak bosan)
Sebuah harapan orang tua kepada anaknya yang baru bekeluarga agar cinta
kasihnya jaganlah seperti bunga yang jika layu dicampakkan, teapi baigaikan
memakan nasi yang tiada bosannya sepanjang masa.
- Lawas taruna dadara
Lamen salamat era na (Jika selamat di kemudian hari)
Yabarete untung kita (Kita raih keberuntungan)
Tupina bangka ban jati (Kan kta buat perahu kayu jati)
Cita-cita pasangan muda-mudi yang jika kelak nanti di persatukan dalam
pernikahan ingin membangun rumah tangga yang bahagia dengan tali cinta yang
kuat (diibaratkan dengan ban jati / papan jati)
Rasate tu saling beme (Hasrat kita saling asah)
Na gama tenri ko capa (Jangan sampai jatuh pada celaka)
Nene satenrang palangan (Oh Tuhan terangilah jalan kami)
Palangan panyayang kita (Perjalanan cinta kita)
Leng tenga lenang tanewang (Di tengah padang yang bergelora)
Saling siyer nyaman ate (Saling bersahutan dengan hati yang gembira)
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih
mereka senantiasa terjaga dari kamaksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang
Maha Esa
2. ALAT PENEGASAN PRANATA SOSIAL
Masyarakat manapun di dunia ini selau ingin mempertahankan pranata sosial yang
dimiliki sebagai sebuah tatanan nilai budyanya. Upaya tersebut selalu
diungkapkan dalam bahasa lawas oleh orang tua kita dulu, seperti contoh berikut
ini:
E sarea tu dadara (Wahai semua para gadis)
Na gama langgar parenta (Jangan sampai engkau melanggar adat)
Gita manras tu pangantan (Lihatah betapa indahnya menjadi penghantin)
Lawas di atas mengungkapkan tentang betapa indahnya menjadi pengantin dengan
menjalankan prosesi adat istiadat.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Mana desa bongka cabe (walaupun di kampung kita menanak cabe)
Lamen tu to bawa diri (Jikalau kita bisa membawa diri)
Mulia nan si parana (Mulialah diri pribadi)
Lamen tu to bawa diri pada lawas di atas mengandung makna bahwa kita harus bisa
mempertahankan ataupun menyesuaikan diri dengan aturan dan norma sosial yang
berlaku. Mulia nan si parana merupakan hasil dari kemampuan kita dalam
menempatkan diri dengan lingkungan sosial budaya dan mematuhi norma yang
berlaku.
- Lawas Taruna Dadara
Tutu boa ku saruntang (Memang ucapanku serampangan)
Ateku pati palajar (Hatiku patuh pada perintah)
Do untung pili gama pag (Duhai nasib/jodoh pilihlah tempat )
Lawas di atas mepupakan penegasan dari seorang gadis selalu patuh terhadap
aturan, walaupun kelihatannya dalam komunikasinya agak terbuka, namun tetap
berharap mendapatkan jodoh yang baik.
Rasate tingi panyayang (Kalau inging tingginya cinta)
Lampang mo gama batemung (Jarang-jaranglah bertemu)
Ma lema belo panotang (Agar panjang rasa rindumu)
Lamen rampak mo tu ngayo (Jiakalau terus-menerus kita bertandang)
Panulang mata manir mo (Pandangan mata menjadi jenuh)
Panyayang turen baroba (Rasa cinta turun berubah)
Tu tokal rapat badua (Duduk rapat berdua)
Lat manra tali pagar (Jaranglah jaraknya bagai ikatan pagar)
Rapat ya rusak panyanag (Jikalau rapat kan merusak cinta)
(Mufti Alhusni. Dari Syair Sayidina Ali bin Abi Thalib)
Lawas di atas menegaskan bahwa dalam pergualan sepasang kekasih hendaknya tidak
teralau sering bertemu, karena akan merusak rasa cinta karena godaan, serta
mendatangkan fitnah.
- Lawas Agama
Riam tu gegan ibadat (Semarak nan damai orang yang giat ibadah)
Turet manik pasatelit (Mengikuti Firman dan sabda sebagai petunjuk)
Telas nyaman sangka caya (Hidup tentram meraih cahaya)
Lawas di atas menegaskan bahwa agama sebagai pranata tertinggi dalam hidup kita
hendaknya kita jalankan berdasarkan petunjuk dalam kitab suci, sehingga
menjadikan hidup kita tentram dan meraih kesuksesan
3. FUNGSI EDUKATIF
Sebagai fungsi edukatif, lawas mencakup pengertian yang luas baik menyangkut
masalah sosial maupun keagamaan. Fungsi ini bahkan sudah lazim menjadi dalil
dalam dunia sastra.
Nan mu lalo bilen desa (kepergianmu meninggalkan desa)
Pariri mata mu nulang (Waspadalah dalam pandangan)
Peno’ turusak kacapa (Banyak orang rusak karena meremehkan)
Nilai edukatif dalam lawas hampir tdak terlepas dalam setiap jenis lawas (lawas
Nasihat, lawas cinta dan lawas anak-anak), karena kalau dicermati secara teliti
setiap jenis lawas tetap mengandung nilai pendidikan. Nilai-nilai tersebut
dipoles dengan gaya bahasa yang indah walaupun itu isinya berupa kritikan tajam
ataupun motivasi. Tata cara dalam bahasa itulah yang mengedukasi kita tentang
tata cara atau etika komunikasi kepada sesama.
Contoh :
Lawas kelakar
Ajan aku dadi renget (Andaikan aku jadi nyamuk)
Ku nyampe leng papar buret (Ku hinggap di bokong)
Mana tampo leng mamung entet (Walaupun dihalau baunya kentut)
Areng ka ku bau ngeset (Asalkan bisa ku menggigit)
Nilai edukasi dari lawas di atas adalah walaupun susah dan penuh rintangan
tidak ada keputus asaan dalam mencari makan.
Lawas Agama
Ya mubuya nyata iman (Kau cari nyatanya iman)
Tili leng godong ma’rifat (Tertutup tabit daun ma’rifat)
Leng selak syukur ke sabar (Di antara rasa syukur dan kesabaran)
Nilai edukasi pada lawas religi di atas adalah kita selaku manusia yang
bertaqwa hendaknya mengutamakan rasa syukur dan kesabaran sebagai implementasi
keimanan.
Lawas anak-anak
Cik cik lema tu marancik (Cik cik ayo kita marancik/bermain)
Cik cik nanta bawi kuntung (Cik cik adu kasihan sang babi buntung)
Tau licik kena tuntung (Orang yang tidak masuk sekolah kena pukul)
Lawas di atas biasa diucapkan anak-anak pada saat bermain bersama. Pada kalimat
ketiga (Tau licik kena tuntung) merupakan motivasi bagi diri anak-anak bahwa
mereka tidak larut dalam suasana asyik bermain hingga tidak masuk sekolah atau
pergi mengaji, karena biasanya guru memberikan hukuman berupa pukulan kapada
orang yang alpa (licik).
4. ALAT NEGASI /KENDALI SOSIAL
Fungsi lawas sebagai alat negasi dan kendali sosial tampaknya sulit dipisahkan,
suatu sistem sosial yang pada umumnya akan tetap dipertahankan oleh pemiliknya.
Suatu upaya untuk tetap mempertahankan sistem sosial yang ada dengan megkritik
anggota yang tidak menaatinya, namun di balik itu ada keinginan untuk tetap
melestarikan sistem yang ada, seperti contoh pada lawas berikut:
Pang ku seman desa ta (Suatu kejanggalan di desa ini)
Adat sarea no kenang (Adat tak semuanya digunakan)
Me po ka cara rua na (Bagaimanakah kebiasaannya)
Lawas di atas kritikan pada kebiasaan di sebuah desa yang tidak menggunakankan
adat kebiasaan sebagaimana mestinya.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah :
- Lawas Agama
Mana me luk senda datang (Walau bagaimanapun suara yang datang)
Na mo giyer ko palece (Jangan goyak karena rayuan)
Sakantap iman leng dada (mantapkan iman di dalam dada)
Iman neja caya intan (Iman tampak cahaya permata)
Tu sakomong cinde putih (Terkafan oleh sutra putih)
No tu beang tenri capa’ (Jangan biarkan jatuh pada celaka)
Fungsi kritis agama terhadap perilaku individu dan kelompok sangatlah ampuh
digunakan untuk mengendalikan dampak-dampak buruk dari pergeseran tatanan nilai
dalam masyarakat kita, hal ini juga sejalan dengan falsafah Adat Barenti Ko
Syra’, Syara’ barenti ko kitabullah. Lawas di atas merupakan seruan dalam upaya
penguatan keiman dan penolakan pengaruh budaya luar yang dapat merusak prilaku
masyarakat.
Lawas Pasatotang tentang Penjagaan Alam
Gili rea tu tarepa (Tanah nan luas kita pijaki)
Pasuk pedenung ke ate (Tancapkan pelindung dengan keikhlasan hati)
No tu beang samar mata (jangan biarkan rapuh pandangan mata)
Lamen samar mata nulang (Jakau rapuh pandangan mata)
Angin renas no maliser (Angin spoi tak lagi meninabobokan)
Ai barereng kesatmo (Air mengalir kan mengering)
Lawas di atas menyatakan bahwa pentingnya menjaga alam lingkungna kita agar
tidak tejadi kerusakan, PADENUNG pada baris kedua bait pertama adalah pelindung
baik secara fisik (konservasi) ataupun non fisik keilmuan dan prilaku.
Lawas Taruna Dadara
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih
mereka senantiasa terjaga dari kamksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang
Maha Esa
5. FUNGSI HIBURAN
Lawas sebagai sastra tutur pada masyarakat Sumbawa secara umum juga berfungsi
sebagai media hiburan. Karena itu merupakan rukh dari sebuah karya sastra.
Lawas dapat dikemas dalam bentuk tampilan seni Sakeco, ngumang, rabalas lawas,
langko dan lain-lain yang murupakan konsumsi hiburan masyarakat. Dalam
fungsinya sebagai hiburan lazimnya lawas yang dibawakan selalu berisikan
lelucon dan kelakar bahkan biasanya menggoda atau menganggu orang lain.
Mengganggu orang lain yang dimaksud dalam hal ini adalah membangkitkan semangat
dan gairahnya yang mungkin tadinya kelihatan kurang semangat mengikuti sebuah
acara.
Contoh :
Ada adiku sakodeng (Ada adikku seorang)
Ku sempit ngaji ko kaung (Kutitipkan ngaji ke Kaung)
Mole-mole basa kaung (Pulang-pulang berbahasa kaung)
Tanya seda basa Kaung (Inilah bunyi bahasa kaung)
Mandore madiata (Mandore madiata)
Kakan sore masi mata (makan kepiting masih mentah)
Ta nya lawas nde ali (Inaialah lawas paman Ali)
Sepan aku soro tali (Mengira aku mencuri tali)
Matea au ku barari (Tunggang langgang ku berlari)
Kutunung petang asarawi (Kutidur lelap semalam)
Kubaripi pendek konde (Kubermimpi pegang konde)
Lampa jambo galang guling (Ternyata hiasan bantal guling)
6. MEMBUKA PERHELATAN / ACARA
Sebuah acara baik itu acara upacara adat, kegiatan sosial kemasyarakat ataupun
permainan rakyat, biasanya juga di buka dengan bahasa lawas sebagai salah satu upaya
dalam menempatkan ciri-ciri budaya lokal dalam kehidupan masyarakat Sumbawa.
Contoh :
Ramanik Nabi Muhammad (Bersabda Nabi Muhammad)
Sarea anung tu boat (Seamua yang kita kerjakan)
Tusamula ke bismillah (Kita mulai dengan bismillah)
O sarea rama peno (Wahai semua orang banyak)
Ma batompok ma baliuk (Ayo merapat berkumpul)
Panto tu jago barempuk (saksikan oranga jago bertinju)
Tu samula ke bismillah (Dimulai dengan bislillah)
Ireng ke salam sawaw (Diirngi salam dan salawat)
Salamat gama parana (selamat sentauasa kiranya tubuh ini)
7. SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN PROMOSI
Lawas sebagai salah satu sastra lisan di Sumbawa yang sudah menyatu dengan
kehidupan sosial masyarakat sangat berperan dalam proses transformasi nilai
budaya, penyebaran informasi dan sebagai sarana pendidikan agama. Seperti lawas
pamuji dan lawas tuter Nabi Muhammad merupakan sebuah bentuk inforamsi
pendidikan agama yang menggunakan media lawas. Pada era tahun 1950an dan 1960an
lawaspun juga digunakan sebagai sarana promosi partai politik. Dewasa inipun
tak jarang kita lihat papan-papan yang berisi promosi pembangunan di daerah
juga menggunkan lawas.
Contoh :
Samawa tanah bulaeng (Sumbawa tanah emas)
Sonap olat kati mega (Dikeliling oleh gunung benjulang ke mega)
Katokal tu tanam jangi (menjadi tempat menanam masa depan
Sai sate nyaman ate (Siapa yang ingin menyenagkan hati)
Laga tempu desa kami (Ayo bergabung dengan desa kami)
Riam remo pang Samawa (Semarak dan damai di tanah Sumbawa)
(Informasi dan Promosi)
Laga sia tana KB (Ayo anda ikut KB)
Dua anak tepang jangka (Dua anak cukup saja)
Lema bau bakalako (Agar bisa berdaya guna)
(Promosi Program KB)
Lawas adalah salah satu sastra lisan yang berkembang di masyarakat Sumbawa,
lawas sangat erat penyatuanya dengan kehidupan sosial masyrakat, karena lawas
berfungsi sebagai sarana penyaluran emosi dari interaksi dengan lingkunagan.
Dengan bahasa lawas orang bisa berkomunikasi dang menyampaikan maksudnya kepada
orang lain dalam berbagai lini hidup, baik itu kehidupan rumag tangga,
pergaulan muda mudi, pendidikan bahkan sosial politik. Berikut fungsi lawas
pada masyarakat Sumbawa yang merujuk pada fungsi sastra lisan secara umum.
1. PROYEKSI ANGAN-ANGAN SUATU KOLEKTEIF
Suatu kolektif pada umumnya membupnyai cita-cita tertentu. Keingingn itu biasanya tergambar melaui karya seni (seni sastra) mereka. Keinginnan kolektif masyrakat Sumbawa tergambar seperti pada lawas berikut :
Loba ku manra lalayang (Anadaikan aku bagai layang-layang)
Ya ku ngibar manra piyo (Kan ku terbang bagaikan burung)
Me tokal sugi ku layar (Kemana (tempat) kekayaan kan ku layar)
Lawas di atas merupakan sebuah cita-cita/motivasi untuk senantiasa berusaha mencari sumber penghidupan walaupun itu berdada di tempat jauh.
Sia bulaeng tu tino (Engkau bagaikan logam emas pilihan)
Lamen to komong salaka (Jikalau bisa membungkus perak)
Intan sia si tu ketong (Maka engkaulah permata yang kami sandarkan)
Lawas di atas merupakan ungkapan bahwa pemipin adalah orang terpilih, jika mampu mengayomi rakyatnya maka ialah pemimpin yang akan disegani dan dihormati
Adapun jenis-jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah lawas pasatotang/nasihat (lawas tau loka) dan lawas muda-mudi, karena secara umum fungsi lawas dalam konteks ini merupakan sebuah cita-cita atau harapan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain untuk memperoleh sesuatu yang terbaik. Berikut beberapa contoh berdasarkan jenis tersebut:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Bilen pesan guru kaji (berpesan guru saya)
Na kalanye masa ode (Masa kecil jangan kau lalaikan)
Nesal mudi nonda tuju (sesal kemudian tiada guna)
Seorang anak yang mengulang kembali pesan (nasihat)nya dengan harapan agar orang lain yang mendengar dapat mengikunya.
Lamen pendi mares pendi (Jika dikasihi terruslah kasihi)
Na musayang manra kemang (Jangan kau sayang seprti bunga)
Manra me lema na bosan (Bagakan nasi, agar tak bosan)
Sebuah harapan orang tua kepada anaknya yang baru bekeluarga agar cinta kasihnya jaganlah seperti bunga yang jika layu dicampakkan, teapi baigaikan memakan nasi yang tiada bosannya sepanjang masa.
- Lawas taruna dadara
Lamen salamat era na (Jika selamat di kemudian hari)
Yabarete untung kita (Kita raih keberuntungan)
Tupina bangka ban jati (Kan kta buat perahu kayu jati)
Cita-cita pasangan muda-mudi yang jika kelak nanti di persatukan dalam pernikahan ingin membangun rumah tangga yang bahagia dengan tali cinta yang kuat (diibaratkan dengan ban jati / papan jati)
Rasate tu saling beme (Hasrat kita saling asah)
Na gama tenri ko capa (Jangan sampai jatuh pada celaka)
Nene satenrang palangan (Oh Tuhan terangilah jalan kami)
Palangan panyayang kita (Perjalanan cinta kita)
Leng tenga lenang tanewang (Di tengah padang yang bergelora)
Saling siyer nyaman ate (Saling bersahutan dengan hati yang gembira)
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih mereka senantiasa terjaga dari kamaksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang Maha Esa
2. ALAT PENEGASAN PRANATA SOSIAL
Masyarakat manapun di dunia ini selau ingin mempertahankan pranata sosial yang dimiliki sebagai sebuah tatanan nilai budyanya. Upaya tersebut selalu diungkapkan dalam bahasa lawas oleh orang tua kita dulu, seperti contoh berikut ini:
E sarea tu dadara (Wahai semua para gadis)
Na gama langgar parenta (Jangan sampai engkau melanggar adat)
Gita manras tu pangantan (Lihatah betapa indahnya menjadi penghantin)
Lawas di atas mengungkapkan tentang betapa indahnya menjadi pengantin dengan menjalankan prosesi adat istiadat.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Mana desa bongka cabe (walaupun di kampung kita menanak cabe)
Lamen tu to bawa diri (Jikalau kita bisa membawa diri)
Mulia nan si parana (Mulialah diri pribadi)
Lamen tu to bawa diri pada lawas di atas mengandung makna bahwa kita harus bisa mempertahankan ataupun menyesuaikan diri dengan aturan dan norma sosial yang berlaku. Mulia nan si parana merupakan hasil dari kemampuan kita dalam menempatkan diri dengan lingkungan sosial budaya dan mematuhi norma yang berlaku.
- Lawas Taruna Dadara
Tutu boa ku saruntang (Memang ucapanku serampangan)
Ateku pati palajar (Hatiku patuh pada perintah)
Do untung pili gama pag (Duhai nasib/jodoh pilihlah tempat )
Lawas di atas mepupakan penegasan dari seorang gadis selalu patuh terhadap aturan, walaupun kelihatannya dalam komunikasinya agak terbuka, namun tetap berharap mendapatkan jodoh yang baik.
Rasate tingi panyayang (Kalau inging tingginya cinta)
Lampang mo gama batemung (Jarang-jaranglah bertemu)
Ma lema belo panotang (Agar panjang rasa rindumu)
Lamen rampak mo tu ngayo (Jiakalau terus-menerus kita bertandang)
Panulang mata manir mo (Pandangan mata menjadi jenuh)
Panyayang turen baroba (Rasa cinta turun berubah)
Tu tokal rapat badua (Duduk rapat berdua)
Lat manra tali pagar (Jaranglah jaraknya bagai ikatan pagar)
Rapat ya rusak panyanag (Jikalau rapat kan merusak cinta)
(Mufti Alhusni. Dari Syair Sayidina Ali bin Abi Thalib)
Lawas di atas menegaskan bahwa dalam pergualan sepasang kekasih hendaknya tidak teralau sering bertemu, karena akan merusak rasa cinta karena godaan, serta mendatangkan fitnah.
- Lawas Agama
Riam tu gegan ibadat (Semarak nan damai orang yang giat ibadah)
Turet manik pasatelit (Mengikuti Firman dan sabda sebagai petunjuk)
Telas nyaman sangka caya (Hidup tentram meraih cahaya)
Lawas di atas menegaskan bahwa agama sebagai pranata tertinggi dalam hidup kita hendaknya kita jalankan berdasarkan petunjuk dalam kitab suci, sehingga menjadikan hidup kita tentram dan meraih kesuksesan
3. FUNGSI EDUKATIF
Sebagai fungsi edukatif, lawas mencakup pengertian yang luas baik menyangkut masalah sosial maupun keagamaan. Fungsi ini bahkan sudah lazim menjadi dalil dalam dunia sastra.
Nan mu lalo bilen desa (kepergianmu meninggalkan desa)
Pariri mata mu nulang (Waspadalah dalam pandangan)
Peno’ turusak kacapa (Banyak orang rusak karena meremehkan)
Nilai edukatif dalam lawas hampir tdak terlepas dalam setiap jenis lawas (lawas Nasihat, lawas cinta dan lawas anak-anak), karena kalau dicermati secara teliti setiap jenis lawas tetap mengandung nilai pendidikan. Nilai-nilai tersebut dipoles dengan gaya bahasa yang indah walaupun itu isinya berupa kritikan tajam ataupun motivasi. Tata cara dalam bahasa itulah yang mengedukasi kita tentang tata cara atau etika komunikasi kepada sesama.
Contoh :
Lawas kelakar
Ajan aku dadi renget (Andaikan aku jadi nyamuk)
Ku nyampe leng papar buret (Ku hinggap di bokong)
Mana tampo leng mamung entet (Walaupun dihalau baunya kentut)
Areng ka ku bau ngeset (Asalkan bisa ku menggigit)
Nilai edukasi dari lawas di atas adalah walaupun susah dan penuh rintangan tidak ada keputus asaan dalam mencari makan.
Lawas Agama
Ya mubuya nyata iman (Kau cari nyatanya iman)
Tili leng godong ma’rifat (Tertutup tabit daun ma’rifat)
Leng selak syukur ke sabar (Di antara rasa syukur dan kesabaran)
Nilai edukasi pada lawas religi di atas adalah kita selaku manusia yang bertaqwa hendaknya mengutamakan rasa syukur dan kesabaran sebagai implementasi keimanan.
Lawas anak-anak
Cik cik lema tu marancik (Cik cik ayo kita marancik/bermain)
Cik cik nanta bawi kuntung (Cik cik adu kasihan sang babi buntung)
Tau licik kena tuntung (Orang yang tidak masuk sekolah kena pukul)
Lawas di atas biasa diucapkan anak-anak pada saat bermain bersama. Pada kalimat ketiga (Tau licik kena tuntung) merupakan motivasi bagi diri anak-anak bahwa mereka tidak larut dalam suasana asyik bermain hingga tidak masuk sekolah atau pergi mengaji, karena biasanya guru memberikan hukuman berupa pukulan kapada orang yang alpa (licik).
4. ALAT NEGASI /KENDALI SOSIAL
Fungsi lawas sebagai alat negasi dan kendali sosial tampaknya sulit dipisahkan, suatu sistem sosial yang pada umumnya akan tetap dipertahankan oleh pemiliknya. Suatu upaya untuk tetap mempertahankan sistem sosial yang ada dengan megkritik anggota yang tidak menaatinya, namun di balik itu ada keinginan untuk tetap melestarikan sistem yang ada, seperti contoh pada lawas berikut:
Pang ku seman desa ta (Suatu kejanggalan di desa ini)
Adat sarea no kenang (Adat tak semuanya digunakan)
Me po ka cara rua na (Bagaimanakah kebiasaannya)
Lawas di atas kritikan pada kebiasaan di sebuah desa yang tidak menggunakankan adat kebiasaan sebagaimana mestinya.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah :
- Lawas Agama
Mana me luk senda datang (Walau bagaimanapun suara yang datang)
Na mo giyer ko palece (Jangan goyak karena rayuan)
Sakantap iman leng dada (mantapkan iman di dalam dada)
Iman neja caya intan (Iman tampak cahaya permata)
Tu sakomong cinde putih (Terkafan oleh sutra putih)
No tu beang tenri capa’ (Jangan biarkan jatuh pada celaka)
Fungsi kritis agama terhadap perilaku individu dan kelompok sangatlah ampuh digunakan untuk mengendalikan dampak-dampak buruk dari pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat kita, hal ini juga sejalan dengan falsafah Adat Barenti Ko Syra’, Syara’ barenti ko kitabullah. Lawas di atas merupakan seruan dalam upaya penguatan keiman dan penolakan pengaruh budaya luar yang dapat merusak prilaku masyarakat.
Lawas Pasatotang tentang Penjagaan Alam
Gili rea tu tarepa (Tanah nan luas kita pijaki)
Pasuk pedenung ke ate (Tancapkan pelindung dengan keikhlasan hati)
No tu beang samar mata (jangan biarkan rapuh pandangan mata)
Lamen samar mata nulang (Jakau rapuh pandangan mata)
Angin renas no maliser (Angin spoi tak lagi meninabobokan)
Ai barereng kesatmo (Air mengalir kan mengering)
Lawas di atas menyatakan bahwa pentingnya menjaga alam lingkungna kita agar tidak tejadi kerusakan, PADENUNG pada baris kedua bait pertama adalah pelindung baik secara fisik (konservasi) ataupun non fisik keilmuan dan prilaku.
Lawas Taruna Dadara
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih mereka senantiasa terjaga dari kamksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang Maha Esa
5. FUNGSI HIBURAN
Lawas sebagai sastra tutur pada masyarakat Sumbawa secara umum juga berfungsi sebagai media hiburan. Karena itu merupakan rukh dari sebuah karya sastra. Lawas dapat dikemas dalam bentuk tampilan seni Sakeco, ngumang, rabalas lawas, langko dan lain-lain yang murupakan konsumsi hiburan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai hiburan lazimnya lawas yang dibawakan selalu berisikan lelucon dan kelakar bahkan biasanya menggoda atau menganggu orang lain. Mengganggu orang lain yang dimaksud dalam hal ini adalah membangkitkan semangat dan gairahnya yang mungkin tadinya kelihatan kurang semangat mengikuti sebuah acara.
Contoh :
Ada adiku sakodeng (Ada adikku seorang)
Ku sempit ngaji ko kaung (Kutitipkan ngaji ke Kaung)
Mole-mole basa kaung (Pulang-pulang berbahasa kaung)
Tanya seda basa Kaung (Inilah bunyi bahasa kaung)
Mandore madiata (Mandore madiata)
Kakan sore masi mata (makan kepiting masih mentah)
Ta nya lawas nde ali (Inaialah lawas paman Ali)
Sepan aku soro tali (Mengira aku mencuri tali)
Matea au ku barari (Tunggang langgang ku berlari)
Kutunung petang asarawi (Kutidur lelap semalam)
Kubaripi pendek konde (Kubermimpi pegang konde)
Lampa jambo galang guling (Ternyata hiasan bantal guling)
6. MEMBUKA PERHELATAN / ACARA
Sebuah acara baik itu acara upacara adat, kegiatan sosial kemasyarakat ataupun permainan rakyat, biasanya juga di buka dengan bahasa lawas sebagai salah satu upaya dalam menempatkan ciri-ciri budaya lokal dalam kehidupan masyarakat Sumbawa.
Contoh :
Ramanik Nabi Muhammad (Bersabda Nabi Muhammad)
Sarea anung tu boat (Seamua yang kita kerjakan)
Tusamula ke bismillah (Kita mulai dengan bismillah)
O sarea rama peno (Wahai semua orang banyak)
Ma batompok ma baliuk (Ayo merapat berkumpul)
Panto tu jago barempuk (saksikan oranga jago bertinju)
Tu samula ke bismillah (Dimulai dengan bislillah)
Ireng ke salam sawaw (Diirngi salam dan salawat)
Salamat gama parana (selamat sentauasa kiranya tubuh ini)
7. SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN PROMOSI
Lawas sebagai salah satu sastra lisan di Sumbawa yang sudah menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat sangat berperan dalam proses transformasi nilai budaya, penyebaran informasi dan sebagai sarana pendidikan agama. Seperti lawas pamuji dan lawas tuter Nabi Muhammad merupakan sebuah bentuk inforamsi pendidikan agama yang menggunakan media lawas. Pada era tahun 1950an dan 1960an lawaspun juga digunakan sebagai sarana promosi partai politik. Dewasa inipun tak jarang kita lihat papan-papan yang berisi promosi pembangunan di daerah juga menggunkan lawas.
Contoh :
Samawa tanah bulaeng (Sumbawa tanah emas)
Sonap olat kati mega (Dikeliling oleh gunung benjulang ke mega)
Katokal tu tanam jangi (menjadi tempat menanam masa depan
Sai sate nyaman ate (Siapa yang ingin menyenagkan hati)
Laga tempu desa kami (Ayo bergabung dengan desa kami)
Riam remo pang Samawa (Semarak dan damai di tanah Sumbawa)
(Informasi dan Promosi)
Laga sia tana KB (Ayo anda ikut KB)
Dua anak tepang jangka (Dua anak cukup saja)
Lema bau bakalako (Agar bisa berdaya guna)
(Promosi Program KB)
1. PROYEKSI ANGAN-ANGAN SUATU KOLEKTEIF
Suatu kolektif pada umumnya membupnyai cita-cita tertentu. Keingingn itu biasanya tergambar melaui karya seni (seni sastra) mereka. Keinginnan kolektif masyrakat Sumbawa tergambar seperti pada lawas berikut :
Loba ku manra lalayang (Anadaikan aku bagai layang-layang)
Ya ku ngibar manra piyo (Kan ku terbang bagaikan burung)
Me tokal sugi ku layar (Kemana (tempat) kekayaan kan ku layar)
Lawas di atas merupakan sebuah cita-cita/motivasi untuk senantiasa berusaha mencari sumber penghidupan walaupun itu berdada di tempat jauh.
Sia bulaeng tu tino (Engkau bagaikan logam emas pilihan)
Lamen to komong salaka (Jikalau bisa membungkus perak)
Intan sia si tu ketong (Maka engkaulah permata yang kami sandarkan)
Lawas di atas merupakan ungkapan bahwa pemipin adalah orang terpilih, jika mampu mengayomi rakyatnya maka ialah pemimpin yang akan disegani dan dihormati
Adapun jenis-jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah lawas pasatotang/nasihat (lawas tau loka) dan lawas muda-mudi, karena secara umum fungsi lawas dalam konteks ini merupakan sebuah cita-cita atau harapan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain untuk memperoleh sesuatu yang terbaik. Berikut beberapa contoh berdasarkan jenis tersebut:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Bilen pesan guru kaji (berpesan guru saya)
Na kalanye masa ode (Masa kecil jangan kau lalaikan)
Nesal mudi nonda tuju (sesal kemudian tiada guna)
Seorang anak yang mengulang kembali pesan (nasihat)nya dengan harapan agar orang lain yang mendengar dapat mengikunya.
Lamen pendi mares pendi (Jika dikasihi terruslah kasihi)
Na musayang manra kemang (Jangan kau sayang seprti bunga)
Manra me lema na bosan (Bagakan nasi, agar tak bosan)
Sebuah harapan orang tua kepada anaknya yang baru bekeluarga agar cinta kasihnya jaganlah seperti bunga yang jika layu dicampakkan, teapi baigaikan memakan nasi yang tiada bosannya sepanjang masa.
- Lawas taruna dadara
Lamen salamat era na (Jika selamat di kemudian hari)
Yabarete untung kita (Kita raih keberuntungan)
Tupina bangka ban jati (Kan kta buat perahu kayu jati)
Cita-cita pasangan muda-mudi yang jika kelak nanti di persatukan dalam pernikahan ingin membangun rumah tangga yang bahagia dengan tali cinta yang kuat (diibaratkan dengan ban jati / papan jati)
Rasate tu saling beme (Hasrat kita saling asah)
Na gama tenri ko capa (Jangan sampai jatuh pada celaka)
Nene satenrang palangan (Oh Tuhan terangilah jalan kami)
Palangan panyayang kita (Perjalanan cinta kita)
Leng tenga lenang tanewang (Di tengah padang yang bergelora)
Saling siyer nyaman ate (Saling bersahutan dengan hati yang gembira)
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih mereka senantiasa terjaga dari kamaksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang Maha Esa
2. ALAT PENEGASAN PRANATA SOSIAL
Masyarakat manapun di dunia ini selau ingin mempertahankan pranata sosial yang dimiliki sebagai sebuah tatanan nilai budyanya. Upaya tersebut selalu diungkapkan dalam bahasa lawas oleh orang tua kita dulu, seperti contoh berikut ini:
E sarea tu dadara (Wahai semua para gadis)
Na gama langgar parenta (Jangan sampai engkau melanggar adat)
Gita manras tu pangantan (Lihatah betapa indahnya menjadi penghantin)
Lawas di atas mengungkapkan tentang betapa indahnya menjadi pengantin dengan menjalankan prosesi adat istiadat.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah:
- Lawas pasatotang / lawas tau loka
Mana desa bongka cabe (walaupun di kampung kita menanak cabe)
Lamen tu to bawa diri (Jikalau kita bisa membawa diri)
Mulia nan si parana (Mulialah diri pribadi)
Lamen tu to bawa diri pada lawas di atas mengandung makna bahwa kita harus bisa mempertahankan ataupun menyesuaikan diri dengan aturan dan norma sosial yang berlaku. Mulia nan si parana merupakan hasil dari kemampuan kita dalam menempatkan diri dengan lingkungan sosial budaya dan mematuhi norma yang berlaku.
- Lawas Taruna Dadara
Tutu boa ku saruntang (Memang ucapanku serampangan)
Ateku pati palajar (Hatiku patuh pada perintah)
Do untung pili gama pag (Duhai nasib/jodoh pilihlah tempat )
Lawas di atas mepupakan penegasan dari seorang gadis selalu patuh terhadap aturan, walaupun kelihatannya dalam komunikasinya agak terbuka, namun tetap berharap mendapatkan jodoh yang baik.
Rasate tingi panyayang (Kalau inging tingginya cinta)
Lampang mo gama batemung (Jarang-jaranglah bertemu)
Ma lema belo panotang (Agar panjang rasa rindumu)
Lamen rampak mo tu ngayo (Jiakalau terus-menerus kita bertandang)
Panulang mata manir mo (Pandangan mata menjadi jenuh)
Panyayang turen baroba (Rasa cinta turun berubah)
Tu tokal rapat badua (Duduk rapat berdua)
Lat manra tali pagar (Jaranglah jaraknya bagai ikatan pagar)
Rapat ya rusak panyanag (Jikalau rapat kan merusak cinta)
(Mufti Alhusni. Dari Syair Sayidina Ali bin Abi Thalib)
Lawas di atas menegaskan bahwa dalam pergualan sepasang kekasih hendaknya tidak teralau sering bertemu, karena akan merusak rasa cinta karena godaan, serta mendatangkan fitnah.
- Lawas Agama
Riam tu gegan ibadat (Semarak nan damai orang yang giat ibadah)
Turet manik pasatelit (Mengikuti Firman dan sabda sebagai petunjuk)
Telas nyaman sangka caya (Hidup tentram meraih cahaya)
Lawas di atas menegaskan bahwa agama sebagai pranata tertinggi dalam hidup kita hendaknya kita jalankan berdasarkan petunjuk dalam kitab suci, sehingga menjadikan hidup kita tentram dan meraih kesuksesan
3. FUNGSI EDUKATIF
Sebagai fungsi edukatif, lawas mencakup pengertian yang luas baik menyangkut masalah sosial maupun keagamaan. Fungsi ini bahkan sudah lazim menjadi dalil dalam dunia sastra.
Nan mu lalo bilen desa (kepergianmu meninggalkan desa)
Pariri mata mu nulang (Waspadalah dalam pandangan)
Peno’ turusak kacapa (Banyak orang rusak karena meremehkan)
Nilai edukatif dalam lawas hampir tdak terlepas dalam setiap jenis lawas (lawas Nasihat, lawas cinta dan lawas anak-anak), karena kalau dicermati secara teliti setiap jenis lawas tetap mengandung nilai pendidikan. Nilai-nilai tersebut dipoles dengan gaya bahasa yang indah walaupun itu isinya berupa kritikan tajam ataupun motivasi. Tata cara dalam bahasa itulah yang mengedukasi kita tentang tata cara atau etika komunikasi kepada sesama.
Contoh :
Lawas kelakar
Ajan aku dadi renget (Andaikan aku jadi nyamuk)
Ku nyampe leng papar buret (Ku hinggap di bokong)
Mana tampo leng mamung entet (Walaupun dihalau baunya kentut)
Areng ka ku bau ngeset (Asalkan bisa ku menggigit)
Nilai edukasi dari lawas di atas adalah walaupun susah dan penuh rintangan tidak ada keputus asaan dalam mencari makan.
Lawas Agama
Ya mubuya nyata iman (Kau cari nyatanya iman)
Tili leng godong ma’rifat (Tertutup tabit daun ma’rifat)
Leng selak syukur ke sabar (Di antara rasa syukur dan kesabaran)
Nilai edukasi pada lawas religi di atas adalah kita selaku manusia yang bertaqwa hendaknya mengutamakan rasa syukur dan kesabaran sebagai implementasi keimanan.
Lawas anak-anak
Cik cik lema tu marancik (Cik cik ayo kita marancik/bermain)
Cik cik nanta bawi kuntung (Cik cik adu kasihan sang babi buntung)
Tau licik kena tuntung (Orang yang tidak masuk sekolah kena pukul)
Lawas di atas biasa diucapkan anak-anak pada saat bermain bersama. Pada kalimat ketiga (Tau licik kena tuntung) merupakan motivasi bagi diri anak-anak bahwa mereka tidak larut dalam suasana asyik bermain hingga tidak masuk sekolah atau pergi mengaji, karena biasanya guru memberikan hukuman berupa pukulan kapada orang yang alpa (licik).
4. ALAT NEGASI /KENDALI SOSIAL
Fungsi lawas sebagai alat negasi dan kendali sosial tampaknya sulit dipisahkan, suatu sistem sosial yang pada umumnya akan tetap dipertahankan oleh pemiliknya. Suatu upaya untuk tetap mempertahankan sistem sosial yang ada dengan megkritik anggota yang tidak menaatinya, namun di balik itu ada keinginan untuk tetap melestarikan sistem yang ada, seperti contoh pada lawas berikut:
Pang ku seman desa ta (Suatu kejanggalan di desa ini)
Adat sarea no kenang (Adat tak semuanya digunakan)
Me po ka cara rua na (Bagaimanakah kebiasaannya)
Lawas di atas kritikan pada kebiasaan di sebuah desa yang tidak menggunakankan adat kebiasaan sebagaimana mestinya.
Jenis lawas yang masuk dalam fungsi ini adalah :
- Lawas Agama
Mana me luk senda datang (Walau bagaimanapun suara yang datang)
Na mo giyer ko palece (Jangan goyak karena rayuan)
Sakantap iman leng dada (mantapkan iman di dalam dada)
Iman neja caya intan (Iman tampak cahaya permata)
Tu sakomong cinde putih (Terkafan oleh sutra putih)
No tu beang tenri capa’ (Jangan biarkan jatuh pada celaka)
Fungsi kritis agama terhadap perilaku individu dan kelompok sangatlah ampuh digunakan untuk mengendalikan dampak-dampak buruk dari pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat kita, hal ini juga sejalan dengan falsafah Adat Barenti Ko Syra’, Syara’ barenti ko kitabullah. Lawas di atas merupakan seruan dalam upaya penguatan keiman dan penolakan pengaruh budaya luar yang dapat merusak prilaku masyarakat.
Lawas Pasatotang tentang Penjagaan Alam
Gili rea tu tarepa (Tanah nan luas kita pijaki)
Pasuk pedenung ke ate (Tancapkan pelindung dengan keikhlasan hati)
No tu beang samar mata (jangan biarkan rapuh pandangan mata)
Lamen samar mata nulang (Jakau rapuh pandangan mata)
Angin renas no maliser (Angin spoi tak lagi meninabobokan)
Ai barereng kesatmo (Air mengalir kan mengering)
Lawas di atas menyatakan bahwa pentingnya menjaga alam lingkungna kita agar tidak tejadi kerusakan, PADENUNG pada baris kedua bait pertama adalah pelindung baik secara fisik (konservasi) ataupun non fisik keilmuan dan prilaku.
Lawas Taruna Dadara
Ijo godong saling siyer (Hijau daun saling bersahut)
Na tu jolo leng palece (jangan biarkan kita condong pada godaan)
Ila gama na kanampi (agar malu tidak menghampiri)
Harapan dan cita-cita sepasang kekasih (“kita” dan “tu”) agar cinta kasih mereka senantiasa terjaga dari kamksiatan dan selalu dalam ridho Tuhan yang Maha Esa
5. FUNGSI HIBURAN
Lawas sebagai sastra tutur pada masyarakat Sumbawa secara umum juga berfungsi sebagai media hiburan. Karena itu merupakan rukh dari sebuah karya sastra. Lawas dapat dikemas dalam bentuk tampilan seni Sakeco, ngumang, rabalas lawas, langko dan lain-lain yang murupakan konsumsi hiburan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai hiburan lazimnya lawas yang dibawakan selalu berisikan lelucon dan kelakar bahkan biasanya menggoda atau menganggu orang lain. Mengganggu orang lain yang dimaksud dalam hal ini adalah membangkitkan semangat dan gairahnya yang mungkin tadinya kelihatan kurang semangat mengikuti sebuah acara.
Contoh :
Ada adiku sakodeng (Ada adikku seorang)
Ku sempit ngaji ko kaung (Kutitipkan ngaji ke Kaung)
Mole-mole basa kaung (Pulang-pulang berbahasa kaung)
Tanya seda basa Kaung (Inilah bunyi bahasa kaung)
Mandore madiata (Mandore madiata)
Kakan sore masi mata (makan kepiting masih mentah)
Ta nya lawas nde ali (Inaialah lawas paman Ali)
Sepan aku soro tali (Mengira aku mencuri tali)
Matea au ku barari (Tunggang langgang ku berlari)
Kutunung petang asarawi (Kutidur lelap semalam)
Kubaripi pendek konde (Kubermimpi pegang konde)
Lampa jambo galang guling (Ternyata hiasan bantal guling)
6. MEMBUKA PERHELATAN / ACARA
Sebuah acara baik itu acara upacara adat, kegiatan sosial kemasyarakat ataupun permainan rakyat, biasanya juga di buka dengan bahasa lawas sebagai salah satu upaya dalam menempatkan ciri-ciri budaya lokal dalam kehidupan masyarakat Sumbawa.
Contoh :
Ramanik Nabi Muhammad (Bersabda Nabi Muhammad)
Sarea anung tu boat (Seamua yang kita kerjakan)
Tusamula ke bismillah (Kita mulai dengan bismillah)
O sarea rama peno (Wahai semua orang banyak)
Ma batompok ma baliuk (Ayo merapat berkumpul)
Panto tu jago barempuk (saksikan oranga jago bertinju)
Tu samula ke bismillah (Dimulai dengan bislillah)
Ireng ke salam sawaw (Diirngi salam dan salawat)
Salamat gama parana (selamat sentauasa kiranya tubuh ini)
7. SEBAGAI MEDIA INFORMASI DAN PROMOSI
Lawas sebagai salah satu sastra lisan di Sumbawa yang sudah menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat sangat berperan dalam proses transformasi nilai budaya, penyebaran informasi dan sebagai sarana pendidikan agama. Seperti lawas pamuji dan lawas tuter Nabi Muhammad merupakan sebuah bentuk inforamsi pendidikan agama yang menggunakan media lawas. Pada era tahun 1950an dan 1960an lawaspun juga digunakan sebagai sarana promosi partai politik. Dewasa inipun tak jarang kita lihat papan-papan yang berisi promosi pembangunan di daerah juga menggunkan lawas.
Contoh :
Samawa tanah bulaeng (Sumbawa tanah emas)
Sonap olat kati mega (Dikeliling oleh gunung benjulang ke mega)
Katokal tu tanam jangi (menjadi tempat menanam masa depan
Sai sate nyaman ate (Siapa yang ingin menyenagkan hati)
Laga tempu desa kami (Ayo bergabung dengan desa kami)
Riam remo pang Samawa (Semarak dan damai di tanah Sumbawa)
(Informasi dan Promosi)
Laga sia tana KB (Ayo anda ikut KB)
Dua anak tepang jangka (Dua anak cukup saja)
Lema bau bakalako (Agar bisa berdaya guna)
(Promosi Program KB)
Komentar
Posting Komentar